16 February 2006

Kala Sang Waktu Tiba



"Nah.. itu dia orangnya! Dasar jam karet, datengnya telat melulu." Sahut Iwan mengomentari kedatangan Agung yang memang sudah satu jam telat dari jadwal acara.
"He..he.. Maaf ya teman-teman.. jalanan macet banget. He..he.." Jawabnya sambil nyengir mencoba nenutupi kesalahannya.

Malam ini kami mengadakan makan malam bersama sambil reuni. Acara ini memang sudah lama dijadwalkan untuk mengadakan acara reuni kecil-kecilan gank kami sewaktu kuliah dulu. Kali ini ditetapkan di rumah makan Sunda di kawasan Blok M. Saya, Bowo, Eko, Iwan, Agung, dan Anto, dulu sama-sama kuliah di Fakultas Sastra. Dari jamannya di-Ospek, lalu jadi teman belajar bareng sampai pernah coba-coba bikin band kampus kami jalani bersama.

Persahabatan kami semakin dalam justru ketika kami semua lulus kuliah, kami semua seolah ingin selalu bersama, apapun keadaannya. Jadilah kami membuat suatu kegiatan rutin untuk sekedar menjadikan saat tersebut adalah saat dimana kami bisa berkumpul. Kegiatan rutin tersebut adalah bermain bola Basket, karena jenis olah raga ini tidak memerlukan jumlah orang yang banyak. Kami bisa menjadi satu tim melawan orang lain atau kalau tidak ada lawan, kami membuat dua tim untuk tanding, istilahnya three on three.

Namun akhirnya kegiatan rutin itupun mulai menjadi tidak rutin lagi, dikarenakan satu per satu dari kami mulai diterima kerja dan kemudian disibukkan oleh urusan kantor. Walhasil waktu berkumpul kami menjadi berkurang dan bahkan cinderung menjadi jarang, apalagi ketika satu per satu dari kami telah menikah dan memiliki anak.

"Anak, istri gak dibawa Mad?" Tanya Anto sambil memesan makanan.
"Nggak.. tadinya mau bawa, tapi kayaknya anak saya kurang sehat badan. Tadinya saya putusin untuk tidak jadi datang ke acara ini tapi istri saya menyuruh saya untuk tetap pergi buat menemui kalian ini dan dia menitip salam buat kalian semua." Jawabku. Memang diantara kami berenam, saya yang paling duluan menikah dan memiliki anak. Usia pernikahan saya dan istri saya hampir genap tiga tahun dan umur anak kami baru menginjak 10 bulan. Lalu si Anto baru enam bulan yang lalu dia menikah. Tapi sayangnya mereka masih menunda untuk memiliki anak. Alasan mereka karena masih sibuk meniti karir.

"Ahh.. enak bener jadi Ahmad.. sudah punya anak yang lucu, trus ditambah istri yang bener-bener sholeha yang selalu pengertian sama suaminya." Sambung Bowo.
"Eh Penganten baru! Jadi'in pelajaran tuh si Ahmad, khususnya nih buat kamu Lus. Selalu pengertian sama suamimu" Celetuk Iwan bergaya menasihati Anto yang hari ini membawa istrinya, Lusi. Lusi hanya tersenyum mendengar celetukkan sahabat suaminya itu, dia sepertinya sudah mulai mengenal masing-masing karakter kami.
"Saya yakin kok, Lusi sangat pengertian dengan suaminya. Buktinya dia mau saja diajak bergabung bersama orang-orang bawel seperti kalian ini" Canda saya dan yang lainpun langsung tertawa.
"Ha..ha.. nggak kebayang yah? Dulu, jaman-jamannya kita masih kuliah, kita sering melemparkan pertanyaan, siapa yang bakal kawin duluan yah?" Kata Eko.
"Ha..ha.. iya yah.. bahkan dulu gue yakin si Iwan yang bakal kawin duluan. Abis pacar dia banyak banget.. ha..ha.." Sambung Agung.
"Dasar lo Gung! Pacar gue sih satu tapi yang naksir sama gue banyak. So gimana dong? Moso gue sia-siain.. he..he."
"Dasar Playboy cap Dua Kelinci!"
"Ha..ha..ha.." Semuanya serempak tertawa.
"Dulu juga sempet, yang akan nikah duluan disesuaikan dengan umur. Jadi si Bowo pertama nikah karena dia yang paling tua diantara kita.. lalu si Ahmad yang terakhir karena dia yang paling muda." Ungkap Anto.
"Iya.. eehh.. malah si Ahmad yang duluan nikah. Jadi berantakan tuh planning. Ha..ha.." Sambung Eko.
"Sudah gitu dia nikah gak pake pacaran dulu lagi. Tiga bulan kenal langsung aja nikah. Top banget dah! Jangan kayak Iwan tuh.. pacar banyak ngga ada satu pun yang dinikahin."
"Habis pacarnya pada kabur semua karena tau si Iwan playboy.. he..he." Sahut Agung
"Ngeledek aja lo Gung. Elo sendiri pacaran Empat tahun sekarang malah bubar."
"Yah.. yang namanya jodoh, rezeki, dan umur-kan yang nentuin Allah." Saya mencoba bijak.
"Stt.. ada pak ustad lagi ngomong.. Ha..ha.." Celetuk Iwan. Semua menyambut dengan tawa kecil dan saya hanya bisa tersenyum.

Suasana menjadi hening sesaat dan satu-satu dari kami menyantap makanan yang sudah dari tadi tersedia di meja. Tidak berapa lama, tiba-tiba Eko membagikan amplop berwarna ungu muda. Semua yang menerima amplop tersebut terheran-heran. Tertulis di amplop tersebut:

Undangan
Minggu, 28 Agustus 2005
Eko Susanto - Siti Oktaviani


"Elo nikah Ko??" serantak semuanya bertanya pada Eko dan diapun hanya menjawab dengan senyum sambil tertunduk malu.
"Ekooo nikaahh!.. Sialan luh.. ngga bilang-bilang tau-tau kasih undangan!!" Teriak Bowo sambil memeukul-mukul kepala Eko dengan amplop undangan tadi.
"Suatu kejutan yang menyenangkan Ko.. Alhamdulillah." Saya memuji Eko dan juga bersyukur kepada Allah atas kebahagiaan ini. Eko merupakan sahabat yang paling dekat dengan saya. Awal kedekatan karena letak rumah kami yang saling berdekatan dan kami selalu berbagi keluh kesah berbagai masalah yang pernah kami hadapi semasa kuliah dan setelah kuliah. Namun setelah saya menikah, saya pindah ke rumah mertua saya dan semenjak itu kami hanya bertemu lewat telpon ataupun saling mengirim e-mail, itupun harus mencari waktu disela-sela kesibukan kantor.

"Sejak kapan elo punya pacar? Kok ngga bilang-bilang?" Tanya Anto dan semua kini menghadapkan wajah mereka ke Eko, berharap ada cerita atau semacam klarifikasi tentang berita baru ini.
"Gue ngga pake pacaran guys, gue dikenalin sama temen pengajian gue. Alhamdulilah kami cocok, lalu gue langsung melamarnya." Semua masih terdiam mendengarkan cerita Eko.
"Gue pengen ngikutin si Ahmad, dia ngga pake pacaran tapi dia pacaran setelah nikah. Gue selalu liat dia dan istrinya selalu mesra. Gue baru sadar kalau semua didasarkan pada ibadah kepada Allah maka semua akan selalu indah."

Tanpa saya sadari air mata saya berlinang. Sungguh suatu rahmat yang indah dari Allah yang telah membukakan hati dan jalan buat sahabat yang sudah saya anggap saudara itu.

"Gue belajar dari kesalahan, selama gue pacaran dulu hati gue selalu merasa nggak tenang. Selalu ada perasaan bersalah. " Eko melanjutkan. "Selama pacaran gue lebih sering berbuat maksiat daripada ibadah. Banyak dosa yang telah gue lakukan. Gue nggak mau lagi berbuat dosa." Kelima sahabatku itu semuanya terdiam, seakan mereka juga menyadari sesuatu yang selama ini mereka tidak pikirkan atau barangkali mereka sudah tau namun masih berat untuk mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya.

"Alhamdulillah…" saya mengucap syukur. "Sudah waktumu Ko untuk membina keluarga. Waktu saya dan Anto sudah kami lewati. Semoga Allah melapangkan jalanmu dan memudahkan segala urusanmu, Ko. Insya Allah, Allah akan menjadikan keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah."

Semua serentak menjawab.

"Amiin.."
"Waktu untuk gue nikah kapan yeh?" Tanya Iwan.
"Insya Allah, Allah pasti telah menetapkan waktumu untuk nanti menikah jadi sementara ini sabar dan berusaha mencari calon yang baik sambil berdoa."
"Makanya jangan terlalu milih-milih, mesti gini, mesti gitu. Yang penting dia sholehah. Iya nggak Mad?" sahut Agung. Aku hanya menjawab dengan anggukan setuju dan senyuman.
"Kalau kamu bener-bener mau menikah, banyak dari teman-teman istriku di pengajian yang sedang mencari pasangan, kalau kamu mau nanti aku kenalkan."
"Serius nih Mad?" Tanya Iwan.
"Seriusss."
"Wah ini acara kok jadi ajang perjodohan sih? Eh.. gue juga dikenalin dong Mad." Celetuk Bowo dan disambut dengan tawa kami semua.

Suasana kembali cair, kami semua kembali menikmati hidangan sambil sesekali bercanda seperti biasa dan tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul 21:30. Sudah waktunya kami untuk berpisah. Kemudian satu per satu dari kami berpamitan, Bowo, Iwan, dan Agung menumpang dengan Anto dan Lusi yang membawa mobil. Kebetulan memang mereka satu arah jadi Anto menawarkan tumpangan kepada mereka. Aku dan Eko mengendarai sepeda motor masing-masing. Kami berkendara beriringan sampai akhirnya kami berpisah untuk menuju ke rumah masing-masing.

***

Sabtu pagi seperti ini memang nikmat menghabiskannya dengan jalan-jalan pagi bersama anakku yang masih berumur 10 bulan. Sambil aku menggendongnya, kami menelusuri jalan-jalan disekitar rumah kami, menghirup udara segar pagi yang bersemilir dari sela-sela pepohonan dan sesekali menyalami orang-orang yang kami temui di jalan. Yang paling aku sukai adalah melihat tingkah-polah anakku itu, dia selalu menoleh-nolehkan wajahnya ke arah yang menurutnya menarik sambil membuka matanya lebar-lebar sambil sesekali dia tertawa, entah menertawakan apa. Sepertinya dia ingin mengenali semua yang ada disekitarnya.

Masih terngiang di kepala waktu istriku melahirkannya. Waktu itu kami sempat cemas dengan biaya persalinan, apalagi dokter menyarankan kami untuk menjalankan operasi dikarenakan posisi bayi dalan kandungan sungsang. Kami hanya bisa pasrah, menyerahkan segalanya hanya kepada Allah. Allah yang Maha Penyayang itu memang telah mengatur segalanya dan tiba-tiba saja semuanya menjadi mudah. Anakku lahir dengan selamat dan biaya operasi sudah ada orang yang menanggungnya. Subhanallah.

Kegiatan jalan-jalan pagi memang saya lakukan setiap akhir pekan. Sambil berolah-raga ringan yaitu jalan kaki, aku juga sedang mencoba memperkenalkan benda-benda di sekitar rumah dan juga mengajarkan kepada anakku untuk selalu menjaga silahturahmi dengan tetangga sebagaimana yang Rasulullah anjurkan agar umatnya selalu berhubungan baik dengan tetangganya.

Ketika mendekati rumah, aku melihat Anto dan istrinya, Lusi, di teras rumah. Dari tampangnya mereka terlihat sedih. Istriku yang menemani mereka juga terlihat sedih dan mereka semua memandangku yang perlahan memasuki pagar rumah.

"Kenapa mereka?" Pikirku.
"Ayah…" Panggil istriku pelan, matanya mulai berkaca-kaca.
"Mad…" Sahut Anto. Bibirnya bergetar dan matanya juga mulai berkaca-kaca.
"Ada apa sih?" Tanyaku pelan dan mulai khawatir dengan sikap mereka.

Istriku mengambil anakku dari gendonganku dan memeluknya erat sambil masuk ke rumah.

"Eko.. Mad. Dia… Eko meninggal dunia Mad."
"Innalillahi Wa Innalillahi Rojiun". Bagaikan disambar seribu petir dari segala penjuru, aku sangat terkejut dengan apa yang baru saja aku dengar.
"Kemarin malam… dia ditabrak bis, setelah pulang dari acara kita." Lanjut Anto.

Aku hanya bisa menganga dengan tatapan hampa. Sahabatku, Eko, sahabat yang sudah aku anggap seperti saudara sendiri, telah dipanggil Sang Khalik. Aku sama sekali tidak menyangka secepat ini, padahal aku dan teman-teman yang lain baru semalam bercanda-ria dengannya. Bahkan akulah orang yang terakhir berpisah dengannya tadi malam. Kami masih bercanda sepanjang perjalanan sebelum akhirnya kami berpisah menuju arah rumah kami masing-masing.

Lalu bagaimana dengan rencana pernikahannya yang tinggal seminggu lagi? Bagaimana perasaan orang tua dan calon istrinya? Ya Allah, betapa manusia hanya bisa berencana. Tapi memang semua ini adalah putusan Allah Yang Maha Kuasa atas segalanya. Dialah yang menentukan batas waktu hidup semua manusia di bumi ini.

Kita sebagai manusia malah sering melupakan bahkan takut akan kematian. Yang kita pikirkan hanya kehidupan dunia dan dunia. Jarang atau mungkin tidak pernah kita bertanya kepada saudara kita, teman kita, atau bahkan diri kita.

"Siapa dari kita ini yang menghadap Allah lebih dahulu?"
"Kala waktu untuk kita menghadap Yang Kuasa tiba. Sudah siapkan kita?"

Demi masa!
Sesungguhnya manusia dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang percaya,
dan membuat kerja-kerja kebaikan dan saling berwasiat pada yang benar,
dan saling berwasiat untuk bersabar.
(Wal Ashr:1-3)